Mengenai raja Tulang Bawang disebut pula
dalam riwayat sejarah di Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam
riwayat itu dikisahkan mengenai “Putra Raja Tulang Bawang”, Lampung, Pulau Sumatera, yang terdampar di Dompu. Setelah
menikah dengan putri anak kepala suku di sana akhirnya menjadi raja.
Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia,
Nusa Tenggara Barat mempunyai catatan sejarah tersendiri. Seperti halnya
Kesultanan Lombok, Sumbawa dan Bima, Dompu dahulu kala juga daerah bekas
kerajaan atau kesultanan. Ternyata, cerita rakyat di sini mengkisahkan kalau raja
pertama Kerajaan Dompu, Putra Raja Tulang Bawang.
Disebutkan, Kerajaan Dompu salah satu
kerajaan paling tua khususnya di Indonesia Bagian Timur. Arkeolog Pusat Balai
Penelitian Arkeologi dan Purbakala, dari berbagai hasil penelitiannya menyimpulkan
Kerajaan Dompu (Dompo) adalah kerajaan paling tua di wilayah timur Indonesia . Sejarah mencatat, di
Dompu sebelum terbentuknya kerajaan konon di daerah ini berkuasa beberapa
kepala suku yang disebut sebagai “ncuhi”
atau raja kecil. Para Ncuhi tersebut terdiri dari 4 orang, yakni Ncuhi Hu,u, Ncuhi
Saneo, Ncuhi Nowa dan Ncuhi Tonda.
Ncuhi Hu,u, berkuasa di wilayah kekuasaan
daerah Hu,u, sekarang Kecamatan Hu,u Dompu. Kemudian Ncuhi Saneo, berkuasa di
daerah Saneo dan sekitarnya, sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Woja Dompu.
Selanjutnya Ncuhi Nowa, berkuasa di daerah Nowa dan sekitarnya. Sedangkan, Ncuhi
Tonda berkuasa di wilayah kekuasaannya di sekitar Tonda dan saat ini masuk
dalam wilayah Desa Riwo, Kecamatan Woja Dompu.
Diantara keempat ncuhi tersebut, yang paling
terkenal Ncuhi Hu,u. Menurut cerita rakyat yang ada, di negeri Woja berkuasa
seorang ncuhi bernama Sang Kula. Ia mempunyai seorang anak perempuan bernama
Komba Rame. Ncuhi ini kemudian terkenal dengan nama Ncuhi Patakula. Suatu
ketika, diriwayatkan Putra Raja Tulang Bawang terdampar di Woja. Dia sengaja mengembara
di Woja bagian timur. Dalam pengembaraannya ia terdampar di daerah ini.
Singkat cerita, akhirnya Putra Raja Tulang
Bawang ini kawin dengan Putri Ncuhi Patakula. Atas kesepakatan para ncuhi yang
ada, akhirnya Putra Raja Tulang Bawang dinobatkan sebagai raja Dompu pertama.
Pusat pemerintahannya di sekitar wilayah Desa Tonda atau di Desa Riwo masuk
dalam wilayah Kecamatan Woja sekarang.
Sementara, raja kedua Dompu bernama Dewa
Indra Dompu, yang lahir dari perkawinan antara putra Indra Kumala dengan putri
Dewa Bathara Dompu. Raja Dompu ketiga bernama Dewa Mbora Bisu. Raja ketiga ini
menggantikan kakaknya Dewa Indra Dompu, cucu dari Indra Kumala. Dewa Mbora
Belanda, saudaranya dari Dewa Mbora Bisu dan Dewa Indra Dompu menjadi raja
keempat di daerah ini. Pengganti Dewa Mbora Belanda putranya bernama Dewa yang Punya Kuda.
Raja yang dikenal sebagai seorang yang diktator,
sehingga diturunkan dari tahta kerajaan oleh rakyat Dompu ialah Dewa yang Mati di Bima. Dia
menggantikan ayahnya, Dewa yang Punya Kuda sebagai raja yang keenam di Dompu. Akan tetapi karena
hal itu akhirnya Dewa di Bawa ke Bima meninggal di sana .
Dewa bergelar “Mawaa La Patu”. Raja ini sebenarnya yang akan dinobatkan sebagai
raja Dompu menggantikan Dewa yang Mati di Bima. Namun ia ke Bima dan selanjutnya memerintah di sana . Semasa pemerintahan
raja ini terkenal satu ekspedisi dari Kerajaan Majapahit. Ekspedisi tersebut dipimpin
salah seorang panglima perangnya bernama Panglima Nala sekitar tahun 1344. Tapi, ekspedisi
tersebut ternyata mengalami kegagalan.
Oleh rakyat Dompu, raja yang satu ini sangat
dikenal sebagai raja yang disiplin dalam menjalankan pemerintahanya, teratur
dalam sosial ekonomi maupun politik. Sehingga masyarakat saat itu memberi gelar
sebagai “Dewa Mawaa Taho”. Semula raja ini dikenal dengan nama “Dadela Nata”.
Ia raja yang ketujuh dan raja Dompu terakhir sebelum masuknya ajaran Islam di
Kerajaan Dompu. Raja tersebut berkedudukan atau bertahta di wilayah Tonda.
Ekspedisi Majapahit yang dipimpin Panglima
Nala dan di bawah komando Sang Maha Patih Gajah Mada mengalami kegagalan pada
ekspedisi pertama. Karena gagal, menyusul ekspedisi kedua sekitar tahun 1357.
Ekspedisi kali ini dibantu Laskar dari Bali
yang dipimpin Panglima Soka. Ekspedisi kedua Majapahit berhasil menaklukkan
Dompu dan akhirnya bernaung di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Melihat fenomena di atas, dapat
disimpulkan jika keberadaan Kerajaan Dompu ternyata sudah ada sebelum Majapahit. Kedatangan
Putra Raja Tulang
Bawang hingga akhirnya jadi raja pertama di sini pun jauh sebelumnya. Hal itu juga
dapat dibuktikan dalam isi Sumpah Palapanya Gajah Mada. Dalam sumpahnya itu disebutkan nama Kerajaan
Dompo (Dompu) sebagai salah satu kerajaan yang akan ditaklukkan dalam
ekspedisinya.
Abad ke-XIX, di Dompu saat itu memerintah
raja-raja yang lemah. Kerajaan dikacaukan oleh berbagai pemberontakan tahun
1803 yang memaksa memerlukan campur tangan pihak residen. Sejak Sultan Abdull
Azis, putra Sultan Abdullah yang mengganti Sultan Yakub tidak banyak berbuat
untuk memajukan kerajaannya. Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 di bawah ancaman
gerombolan perompak. Banyak desa-desa yang ada di wilayah Dompu saat itu
dihancurkan.
Sekitar tahun 1809, Gubernur Jenderal
Daendels menugaskan Gubernur van Kraam untuk memperbaharui perjanjian dengan
Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di Bima. Begitu pula penggantinya Sultan
Muhammad Tajul Arifin I putra Sultan Abdull Wahab. Sultan Muhammad Tajul Arifin
I digantikan adiknya, Sultan Abdull Rasul II. Dari tanggal 5-12 April 1815
ketika Gunung Tambora meletus, sepertiga dari penduduk tewas dan sepertiga lainnya
berhasil melarikan diri.
Sultan Abdull Rasul II memindahkan Istana
Bata (Asi Ntoi) kini Situs Doro Bata yang terletak di Kelurahan Kandai I
Kecamatan Dompu ke Istana Bata yang baru (Asi Bou). Karena itu, dia disebut
dengan gelar “Bata Bou”. Ia digantikan putranya Sultan Muhammad Salahuddin. Salahuddin
mengadakan perbaikan dalam sistem dan hukum pemerintahan. Sultan menetapkan hukum
adat berdasarkan hasil musyawarah dengan para alim ulama. Hukum adat yang
dipakai berdasarkan hukum Islam yang berlaku di wilayah kekuasaannya.
Dalam menjalankan pemerintahannya, sultan
dibantu majelis hadat (adat) serta majelis hukum dalam tatanan kepangkatan
hadat dan hukum. Mereka selanjutnya disebut manteri-manteri dengan sebutan Raja
Bicara, Rato Rasana,e, Rato Perenta dan Rato Renda. Suatu dewan hadat, merupakan
badan kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan
sultan. Hadat juga kelengkapan pemerintahaan yang berfungsi menjalankan hukum
agama yang dikepalai oleh “Kadi” atau
sultan menurut keperluannya.
Seperti sultan-sultan sebelumnya, Salahuddin
tetap melakukan hubungan dengan pihak pemerintah kolonial Belanda. Menurut
Zolinger, sejak mengadakan perjanjian dengan kompeni sekitar tahun 1669, selanjutnya
Sultan Muhammad Salahuddin diganti putranya Sultan Abdullah.
Semasa pemerintahannya, Sultan Abdullah
menandatangani kontrak panjang tahun 1886. Dia selanjutnya
diganti oleh putranya Sultan Muhammad Siradjuddin yang memperbaharui kontrak sekitar
tahun 1905. Sejarah juga menyebutkan, sultan pertama
di Dompu setelah adanya likuidasi pergantian pemerintahan dari sistem kerajaan
menjadi kesultanan, yakni Sultan Syamsuddin I.
Sultan Syamsuddin I pemimpin atau raja yang
pertama kali memeluk agama Islam begitu sistem pemerintahannya berubah jadi kesultanan.
Tahun 1958, Kesultanan Dompu yang saat itu dipimpin sultan Dompu terakhir,
yakni Sultan Muhammad Tajul Arifin (Ruma To,i), sistem pemerintahan diubah
menjadi suatu daerah Swapraja Dompu dan kepala daerah Swatantra tingkat II
Dompu tahun 1958–1960.
Di sebelah barat laut Dompu, sebelah timur kaki Gunung Tambora terdapat kerajaan
kecil bernama Sanggar. Tahun 1805, raja Sanggar meninggal dan digantikan saudaranya Ismail
Ali Lujang. Abad ke-XIX, sebelum Gunung Tambora meletus dengan dahsyatnya,
penduduk di sana saat itu berjumlah sekitar dua ribu orang tahun 1808. Kemudian meningkat
menjadi dua ribu dua ratus orang tahun 1815.
Ketika Tambora meletus bulan April 1815,
sebagian besar penduduknya meninggal dan tinggal dua ratus orang saja. Karena
diserang perampok tahun 1818, mereka melarikan diri ke Banggo di Kerajaan Dompu
dan sebagian ke Gembe Bima. Dengan bantuan gubernurmen tahun 1830, mereka
akhirnya kembali ke Sanggar. Gubernurmen memberikan bantuan beberapa senapan
dan amunisi untuk menjaga diri dari serangan musuh. Tahun 1837, penduduk
Sanggar masih berjumlah sekitar tiga ratus tiga orang. Tahun 1847
meningkat menjadi tiga ratus lima
puluh orang atau jiwa.
Rumah raja dibuat rakyatnya sendiri dengan
bahan dari kayu pilihan secara gotong–royong. Raja dan para pembesar kerajaan ketika itu tak
mendapat gaji. Tetapi tanah-tanah mereka dikerjakan rakyatnya. Awal abad ke XX
atau sejak Belanda menguasai Pulau Sumbawa secara langsung, Kerajaan Sanggar dihapus
serta digabungkan dengan kekuasaan Kesultanan Bima.
Di sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan
Sanggar dan Kerajaan Dompu, terletak suatu
jazirah ketiga penjuru dibatasi laut terdapat Kerajaan Tambora. Kerajaannya seluas areal wilayah 459 pal persegi. Seluruh kerajaan berada di
sekitar kaki Gunung Tambora (Gunung Arun). Sebelum Tambora meletus, air sudah
sangat kurang. Untuk mendapatkan air minum penduduk ketika itu menggali sumur
di sekitar pantai. Rakyat Tambora hidup dari berladang atau bercocok tanam
serta berternak dan meramu.
Ladang-ladang penduduk cukup lembab oleh
embun. Mereka bercocok tanam sekitar bulan Agustus dan panen bulan Desember.
Kekayaan utama penduduknya, berupa ternak kuda dan hasil kayu hutan. Setengah
dari hasil gubernurmen dan setengah dari kuda-kuda dikirim ke Kerajaan Bima
tahun 1806–1807 berasal dari Tambora. Tahun 1808, Kerajaan Tambora berpenduduk
sekitar empat ribu jiwa. Tahun 1815 atau setelah Tambora meletus penduduknya sebagian habis
tewas diperkirakan sebanyak tiga puluh ribu jiwa lebih.
Dalam tahun 1816, sisa penduduk yang masih hidup akhirnya dikabarkan meninggal
semua. Sebab, mereka diterjang banjir bandang dan lahar panas. Selanjutnya, bekas
Kerajaan Tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam tersebut digabungkan
dengan wilayah Kesultanan Dompu. Bekas Kerajaan Tambora kini masuk dalam
wilayah Kecamatan Pekat Dompu.
Di masa pemerintahan Kabupaten Dompu, nama
Pekat saat ini nama sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan
Pekat–Calabay Dompu (nama ibukota Kecamatan Pekat). Konon, nama Pekat
berasal dari kata “Pepekat”. Kerajaan kecil itu tidak banyak meninggalkan atau
menyimpan bukti-bukti untuk mendukung keberadaan kerajaannya tempo dulu. Bahkan,
hampir dikatakan tidak ada sama sekali. Hanya nama Pekat kini nama sebuah desa
di kawasan lereng Gunung Tambora. Catatan sejarah menyebutkan, meskipun suatu
kerajaan kecil tetapi Pekat waktu itu terus diizinkan berdiri oleh pemerintah
penjajah VOC, terutama untuk membendung pengaruh dari Kerajaan Makassar yang
sewaktu-waktu dapat membentuk kekuatan. Makanya, dengan Pekat pihak VOC mengikat
terus persahabatan yang baik. Namun akibat Gunung Tambora meletus, penduduk di kerajaan ini musnah
seluruhnya. Bekas Kerajaan Pekat digabungkan dengan wilayah kekuasaan Kerajaan
Dompu.
Gunung Tambora Meletus tanggal 10–11 April
1815. Dalam catatan sejarah Dompu, letusan Tambora yang paling dahsyat tanggal
11 April 1815. Akibatnya, beberapa kerajaan kecil yang terletak di sekitar Tambora menjadi sasaran empuk
musibah itu. Sehingga tak
perlu berlangsung lama ketiga kerajaan kecil tersebut
musnah. Pralaya (malapetaka) ini tampaknya di satu sisi berdampak positif bagi
berkembangan Kerajaan Dompu. Sebab, setelah sekian tahun lamanya dalam
perkembangan selanjutnya wilayah Kerajaan (Kesultanan) Dompu bertambah luas
wilayahnya. Bekas wilayah 3 kerajaan kecil pernah musnah akibat letusan Tambora
itu akhirnya masuk ke dalam wilayah Kerajaan (Kesultanan) Dompu.
Dengan bertambahnya wilayah Kesultanan Dompu (Pekat,
Tambora dan sebagian wilayah Kerajaan Sanggar) dinilai suatu pertanda kelahiran
baru bagi Dompu Bou (Dompu Baru), yakni pergantian antara Dompu Lama dan Dompu
Baru. Peristiwa tersebut menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang bertambah
luas wilayahnya. Oleh ahli sejarah, Prof. Dr. Helyus Syamsuddin, PHd.,
peristiwa tanggal 11 April 1815 dijadikan patokan dan dasar yang kuat dijadikan
sebagai hari lahir atau hari jadi Dompu. Selanjutnya, melalui Peraturan Daerah
(Perda) No. 18 tanggal 19 Juni 2004 ditetapkan tanggal 11 April 1815 sebagai hari
jadi Dompu.
Bila dikaitkan dengan cerita rakyat Dompu,
didapat keterangan kalau raja pertama Kerajaan Dompu merupakan Putra Raja Tulang
Bawang, Lampung, Pulau Sumatera. Hal ini merujuk pada keberadaan Kerajaan Tulang Bawang. Bahkan, diriwayatkan kedatangan Putra Raja
Tulang Bawang hingga jadi raja pertama di sana jauh sebelum penyerangan
Kerajaan Majapahit ke Dompu. Dengan demikian kuat dugaan Kerajaan Tulang Bawang
berdiri sebelum Majapahit. Namun sayangnya, riwayat ini
tidak menyebut nama asli Putra Raja Tulang Bawang tersebut dan keturunan sebelumnya.
Sebelum menjadi penguasa pertama di Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
sekarang, dalam riwayat ini hanya menyebut Putra Raja Tulang Bawang diceritakan
terdampar di daerah Woja. Ia sengaja mengembara di Woja bagian timur. Kemudian Putra Raja Tulang
Bawang menikahi Komba Rame, putri Ncuhi Patakula atau Sang Kula, seorang ncuhi
(kepala suku) di negeri Woja, Dompu.
(Dikutif dari naskah buku Akhmad Sadad, "Kerajaan Tulang Bawang, Rangkaian Sejarah yang Hilang", Bandar Lampung, 2014). Dilarang mengutip selain menyebutkan sumber tulisan ini.
Saya Miftahul Yani, asli dari Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Saya sangat tertarik dengan tulisan sejarah anda masalah raja Tulang Bawang. Saya butuh komunikasi langsung dengan anda untuk share info dan atau ilmu. Nmrku : 087865583052
ReplyDeleteYani Magenda@ Terima kasih tanggapan Saudari. Jika Anda ingin mengenal agak lebih jauh mengenai raja Tulang Bawang, Anda bisa buka blog saya: http://sadadakhmad.blogspot.com/. Salam.
ReplyDeletesuka catatan ini.sy juga salah satu trah dari turunan raja raja dompo
ReplyDelete