Nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-Hwang/To-Lang Po -Hwang)
sempat dikenal di tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari
sejumlah peninggalan,
riwayat sejarah maupun catatan penziarah asal daratan Cina,
mengungkap keberadaan daerah kerajaan ini. Prasasti (batu bertulis) Kedukan
Bukit yang ditemukan di Palembang menyebut, saat itu Kerajaan Sriwijaya (Che-Li P'o Chie) telah berkuasa
dan ekspedisinya menaklukkan daerah-daerah lain, terutama dua pulau yang berada
di bagian barat Indonesia.
Sejak itu, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang
Bawang yang sempat berjaya akhirnya lambat laun meredup. Kerajaan Sriwijaya
yang dikenal sebagai kerajaan maritim terus berkembang pesat. Sementara,
nama To-Lang Po-Hwang nyaris tidak terdengar lagi. Tulang Bawang kembali disebut-sebut semasa
kolonial Hindia Belanda dan Kesultanan Banten serta sumber asing.
Banyak pertanyaan diajukan mengenai
keberadaan Kerajaan Tulang Bawang. Sejarah Indonesia dan keyakinan masyarakat
Lampung menyatakan, suatu masa ada sebuah kerajaan besar di wilayah ini.
Kerajaan itu sudah terlanjur menjadi identitas Provinsi Lampung dalam konteks Indonesia
modern. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya mengemuka, bagaimana asal mula
Kerajaan Tulang Bawang, di mana pusat kerajaannya, siapa raja yang memerintah
dan siapa pula pewaris tahtanya hingga sekarang?. Itu yang masih di nanti jawabannya
sampai saat ini.
Sejumlah sejarawan, antropolog, arkeolog, bahkan
pemerintah kabupaten dan Provinsi Lampung pun, berusaha keras menemukan
kembali rangkaian sejarah yang 'hilang' tersebut. Hasilnya belum juga begitu memuaskan. Namun walau hingga kini situs pusat Kerajaan Tulang Bawang belum dapat dilacak
keberadaannya secara pasti, usaha-usaha untuk meneliti dan menggali jejak-jejak peninggalannya
perlu terus dilakukan.
Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah
kebudayaan dan perdagangan di Nusantara digambarkan, Kerajaan Tulang Bawang salah
satu kerajaan tertua di Indonesia ,
di samping Kerajaan
Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Bahkan, Kerajaan Tulang Bawang yang
pernah ada di Pulau Sumatera (Swarna
Dwipa) ini tercatat sebagai salah satu kerajaan tertua di Tanah Andalas.
Hal itu dibuktikan dari sejumlah temuan, baik berupa makam tokoh-tokoh serta
beberapa keterangan yang menyebut keberadaan kerajaan di daerah selatan Pulau
Sumatera ini.
Kebudayaan Tulang Bawang, tradisi dan
kebudayaan lanjutan dari peradaban Skala Brak. Karena dari empat marganya,
yaitu Buay Bulan, Buay Tegamoan, Buay Umpu serta Buay Aji, di
mana salah satu buai tertuanya Buay Bulan, jelas bagian dari Kepaksian Skala
Brak, Cenggiring. Buay Bulan, keturunan Putri Si Buay Bulan, melakukan
migrasi ke daerah Tulang Bawang bersama dua marga lainnya, Buay Umpu dan Buay
Aji. Dengan demikian, adat budaya suku Lampung Tulang Bawang dapat dikatakan
lanjutan dari tradisi peradaban Skala Brak, yang berasimilasi dengan tradisi
dan kebudayaan lokal. Asimilasi terjadi dimungkinkan sekali telah ada
sebelumnya atau sebelum mendapatkan pengaruh dari Kepaksian Skala Brak.
Kebudayaan Tulang Bawang yang merupakan
penyimbang punggawa dari Kepaksian Skala Brak, satu kesatuan dari budaya-budaya
dan etnis Lampung lainnya, seperti Keratuan Semaka, Keratuan Melinting,
Keratuan Darah Putih, Keratuan Komering, Sungkai Bunga Mayang, Pubian Telu
Suku, Buay Lima Way Kanan, Abung Siwo Mego dan Cikoneng Pak Pekon. Pembagian
dan pengaturan wilayah kekuasaannya diatur Umpu Bejalan Diway. Pengaturannya
berdasarkan daerah-daerah yang dialiri sungai/way. Secara harfiah, bu-way atau buay (buai) berarti pemilik
sungai/way atau pemilik daerah kekuasaan yang wilayahnya dialiri sungai.
Bagi warga Tulang Bawang, terjadinya perpindahan penduduk
yang ada di daerah ini bukan suatu hal aneh dan baru. Transmigrasi maupun imigrasi
di daerah Tulang Bawang, sudah dikenal sejak perpindahan suku bangsa dari
negara lain di luar Indonesia. Mereka
datang dari negeri yang jauh, berpindah mencari penghidupan menempati suatu
tempat.
Diriwayatkan, abad ke V Masehi datang suku bangsa beragama
Hindu dari Vietnam ke Indonesia. Perpindahan
ini terjadi secara bergelombang
dan berkelompok-kelompok. Mereka berimigrasi dari satu negara ke negara baru. Di
negara baru, mereka pertama kali berpondok dan berladang atau berhuma di atas
pegunungan Bukit Pesagi. Kelompok dan gelombang-gelombang berikutnya juga berhuma
dan berladang di Skala Brak. Melalui
perpindahannya
kedua, suku bangsa dari Vietnam
itu diduga mendirikan Kerajaan Tulang
Bawang.
Beratus-ratus tahun lamanya mereka di sini. Sebagian mencari
daerah lebih subur dan aman serta lokasi bertani yang lain. Nenek moyang yang
menjadikan Kerajaan Tulang Bawang menyusur ke hulu Sungai Tulang Bawang dan
menetap di situ. Demikian juga dari Skala Brak menyusul berpindah pula. Mereka ada yang pindah
ke Lampung Utara, Lampung Tengah hingga Lampung Selatan sekarang. Akhirnya, kelompok-kelompok itu mendirikan keratuan-keratuan di daerah
Lampung. Baik yang menjadikan keratuan maupun mendirikan Kerajaan Tulang Bawang, dinamakan transmigrasi
maupun imigrasi. Mereka berpindah dari satu tempat ke yang baru
dalam suatu wilayah atau satu negara.
Semasanya, daerah ini terbentuk suatu sistem demokratis
yang dikenal dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung disebut mego/megou. Sementara, mego-lo bermakna marga yang utama. Sewaktu masuknya pengaruh Devide Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama kalinya disebut
dengan Selapon. Sela berarti duduk
bersila atau bertahta. Sedangkan, pon/pun
adalah orang yang dimulyakan. Ketika syiar ajaran agama Hindu sudah masuk ke
daerah Selapon, mereka yang berdiam di Selapon mendapat gelaran Cela Indra atau dengan istilah lebih
populer lagi dikenal sebutan Syailendra
atau Syailendro yang berarti bertahta
raja.
Menurut riwayat turun temurun yang
dituturkan, mengenai penamaan Tulang Bawang salah satu sumber menyebutkan, sesuai
dengan Kerajaan Tulang Bawang yang hingga kini belum didapat secara mutlak,
baik keraton maupun rajanya, demikian juga peninggalan-peninggalannya, bahkan
abad berdirinya pun tidak dapat dipastikan, sifat-sifat ini sama
halnya dengan sifat bawang. Bentuk bawang, dikatakan bertulang di mana tulangnya.
Semakin dicari semakin hilang (kecil). Sampai habis tidak bertemu
dengan tulangnya.
Riwayat kedua, dahulu menurut cerita raja
Tulang Bawang banyak musuh. Semua musuh-musuhnya harus dibunuh. Mayat-mayatnya dibuang di bawang atau lebak-lebak. Mayat-mayat
tersebut akhirnya tertimbun didalamnya. Tinggal tumpukan tulang-tulang manusia
memenuhi bawang/lebak-lebak di sungai ini. Sejak itu, sungai tersebut dinamai
Sungai Tulang Bawang.
Riwayat ketiga, sewaktu zaman raja Tulang Bawang pertama
sekitar abad ke IV Masehi, dikisahkan suatu ketika permaisurinya menghanyutkan bawang di sungai. Sekarang sungainya dikenal dengan sebutan Way
(Sungai) Tulang Bawang. Kemudian, permaisuri menyumpah-nyumpah, “Sungai Bawang”-lah ini. Begitu sumpahannya ke sungai. Semenjak
itu, sungai tersebut dinamakan Sungai Tulang Bawang atau Kerajaan Tulang Bawang.
Bila menggunakan pendapat Yamin, penamaan Tolang
P’o-Hwang akan berarti ”Orang Lampung” atau ”Utusan dari Lampung” yang datang ke
negeri Cina dalam abad ke 7 Masehi. Yamin mengatakan, perbandingan dari bahasa-bahasa Austronesia
dapat memisahkan urat kata untuk menamai kesaktian itu dengan nama asli, yaitu
tu (to, tuh) yang hidup.
Misalnya,
dalam kata-kata tu-ah, ra-tu, Tu-han, wa-tu, tu-buh, tu-mbuhan dan
lain-lain.
Berhubung dengan urat kata asli tu (tuh-to) menunjukkan zat kesaktian menurut perbandingan bahasa-bahasa yang masuk rumpunAustronesia , baik pula diperhatikan urat itu terdapat
dalam kata-kata seperti to (orang
dalam bahasa Toraja), tu (Makasar dan
Bugis). Dengan demikian, To-Lang P’o-Hwang berarti To= orang dan Lang P’o-Hwang=
Lampung. Sejak itu, orang-orang menyebut daerah ini dengan sebutan Lampung.
Berhubung dengan urat kata asli tu (tuh-to) menunjukkan zat kesaktian menurut perbandingan bahasa-bahasa yang masuk rumpun
Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang
berdiri sekitar abad ke 4 Masehi atau tahun 623 Masehi. Namun ada juga
menyebutkan kerajaan ini berdiri tahun 771 Masehi. Rajanya pertama bernama Mulonou
Jadi. Raja Mulonou Jadi di masa kemudiannya oleh masyarakat dikenal lagi dengan
nama Mulonou Aji dan Mulonou Haji.
Walaupun sudah sejak 651 Masehi utusan dari
Khalifah Usmar bin Affan, yaitu Sayid Ibnu Abi Waqqas sudah bertransmigrasi ke Kyang Chou di negeri Cina
dan meskipun dikatakan utusan Tulang Bawang pernah datang ke negeri Cina dalam
abad ke 7 Masehi, namun rupanya orang-orang Lampung yang tinggal kala itu
belum beragama Islam.
Setelah memerintah kerajaan, berturut-turut Raja Mulonou Jadi digantikan putra mahkota, masing-masing disebutkan bernama Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang Naga Berisang, Cacat Guci, Cacat Bucit, Minak Sebala Kuwang dan Runjung atau yang lebih dikenal dengan Minak Tabu Gayau. Diperkirakan, Runjung memerintah Tulang Bawang sekitar abad ke 9 Masehi.
Setelah memerintah kerajaan, berturut-turut Raja Mulonou Jadi digantikan putra mahkota, masing-masing disebutkan bernama Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang Naga Berisang, Cacat Guci, Cacat Bucit, Minak Sebala Kuwang dan Runjung atau yang lebih dikenal dengan Minak Tabu Gayau. Diperkirakan, Runjung memerintah Tulang Bawang sekitar abad ke 9 Masehi.
Rakehan Sakti atau Umpu Kesaktian, raja kedua Kerajaan
Tulang Bawang menggantikan Maulano Jadi. Dalam riwayatnya, Rakehan Sakti menikah
dengan Dayang Metika gelar Bidadari Angsa, anak bai Umpu Kuasa Buay Semenguk
gelar Ratu Pesagi Nyerupa. Dari perkawinan ini, lahir seorang anak laki-laki
dan seorang perempuan. Nama kedua
anaknya
Junjungan Sakti dan Putri Bulan.
Poyang Junjungan Sakti menurunkan Naga Berisang. Selanjutnya,
Naga Berisang menurunkan Runjung/Tabu Gayau. Sementara, Putri Indra Bulan
menurunkan Putri Bulan Bara, yang kelak menikah dengan Empu Rakihan gelar Ratu
Di Belalau/Umpu Belunguh/Umpu Ngegalang Paksi nenek moyang Skala Brak. Puyang Naga Berisang nama kecilnya Mandala
Bulan. Dalam kisahnya, Naga Berisang menikah dengan Putri Dayang Metika
menurunkan Putri Indera Bulan gelar Putri Indrawaty. Dalam kisah itu, Putri
Indera Bulan menikah dengan Raja Sangara gelar Kun Tunggal anak Raja Dewata
Siliwangi.
Riwayat lain menyebut, Puyang Naga Berisang
diperkirakan berasal dari Tiongkok Selatan. Bisa jadi, riwayat ini merunut dari
asal-usul keluarganya. Setelah menikah dengan putri dari Rumpun Seminung,
keturunannya menyebar ke daerah Lampung (Way Kanan, Tulang Bawang) dan Sumsel
(Komering). Diperkirakan, puyang ini datang ke daerah Rumpun Seminung abad ke
14 Masehi.
Dari pernikahan Empu Rakihan gelar Ratu Di Belalau/Umpu
Belunguh/Umpu Ngegalang Paksi dengan Putri Bulan Bara jurai dari Putri Indera
Bulan menurunkan Buay Menyata dan Buay Turgak. Didalam perjanjian, Buay Menyata
dan Buay Turgak tidak ikut klan Empu Rakihan gelar Ratu Di Belalau/Umpu
Belunguh/Umpu Ngegalang Paksi, tetapi ikut dalam klan ibunya, jurai Putri Indera Bulan.
Kemudian, Empu Rakihan kawin dengan Putri Sindi, anak
dari Putri Sekeghumong.
Mereka menetap di Ranji Pasai dekat Kenali.
Dari perkawinan ini lahir Empu Belunguh, Empu Nyerupa, Empu Pernong dan Empu Bejalan Di Way. Tapi, menurut
keterangan lainnya, Empu Pernong dan Empu Bejalan Di Way berasal dari Darmas
Raya. Keempat empu ini cikal bakal Paksi Pak Skala
Brak.
Sumber lain menuturkan, berdasarkan data Keraton Kesepuhan Cirebon, nama asli raja-raja
Kerajaan Tulang Bawang dari abad ke 5 hingga 15 Masehi, terdiri dari 12
raja-raja dari zaman Hindu. Rajanya ke sebelas bernama Rio Mangku Bumi
Kamantaka Bumiloka. Raja ke 12, namanya Sang Pragadewa Gramanta Sindra Sisi Ceki Balawa Sinta
Madya Kamala Bumi, yang masyarakat Pagar Dewa mengenalnya Minak Pati Pejurit
atau Minak Pati Prajurit gelar Minak Kemala Bumi. Dia disebut salah seorang
yang mengislamkan tanah Lampung.
Runjung (Minak Tabu Gayau) memiliki 3 putra
mahkota. Ketiga putranya, masing-masing Tuan
Rio Mangku Bumi, Tuan Rio Tengah dan Tuan Rio Sanak. Tuan Rio Mangku Bumi
pewaris tahta kerajaan di Pedukuhan Pagar Dewa. Hulubalangnya Cekay Di Langek
dan Tebesu Rawang. Sedangkan, Tuan Rio Tengah mempertahankan wilayah sekitar Rantaou Tijang
(Menggala). Sementara, Tuan Rio Sanak mempertahankan wilayah daerah Panaragan
dengan panglimanya Gemol (Minak Indah).
Dalam tuturan itu dikatakan pula, untuk
mengawasi daerah perbatasan, seperti Mesuji, Teladas, Gedung Meneng, Gunung
Tapa, Kota Karang Mersou, Gedung Aji, Bakung dan Menggala, setiap tempat dijaga
para panglima. Guna
pengawasan dan penjagaan untuk mengamankan wilayah dari
serangan musuh, baik dari luar maupun dalam negeri sendiri.
Pada masa Minak Pati Pejurit (Minak Kemala
Bumi), terlihat benar susunan struktur pertahanan. Tiap-tiap kampung dijaga panglima-panglimanya.
Seperti di Kampung Dente Teladas, dijaga Panglima Batu Tembus dan Minak
Rajawali. Tugasnya, menjaga pos pertahanan pertama dari laut. Arah
ke hulu, Kampung Gedung Meneng, Gunung Tapa dan Kota Karang, panglimanya Minak
Muli dan Minak Pedokou. Untuk pertahanan, tempat ini dijadikan pusat pertahanan
kedua. Sementara, Kampung Meresou atau Sukaraja, dijaga Panglima Minak Pati
Ngecang Bumi dan Minak Pati Baitullah. Mereka bertugas memeriksa (meresou) setiap musuh yang masuk ke
Tulang Bawang.
Minak Kemala Bumi atau dikenal Haji Pejurit
keturunan raja Kerajaan Tulang Bawang yang telah beragama Islam. Ia lahir dan
wafat di abad ke 16 Masehi. Minak Kemala Bumi, salah satu penyebar agama Islam
di Lampung dan keturunan dari Tuan Rio Mangku Bumi, raja terakhir yang masih
beragama Hindu. Haji Pejurit atau Minak Pati Pejurit atau Minak Kemala Bumi,
mendalami ajaran agama Islam berguru dengan Prabu Siliwangi (Jawa Timur). Lalu, ia memperistri Ratu
Ayu Kencana Wungu putri Prabu Siliwangi. Anak cucu dari keturunan mereka
menurunkan Suku Bujung dan Berirung.
Selain catatan dan riwayat, bukti adanya
Kerajaan Tulang Bawang, diantaranya terdapat makam raja-raja. Tuan Rio Mangku
Bumi makamnya di Pagar Dewa. Tuan Rio Tengah dimakamkan di Meresou. Tuan Rio
Sanak makamnya berada di Gunung Jejawi, Panaragan. Selain itu, ada pula makam para
panglima yang berada di sejumlah tempat.
Tuturan rakyat lain mengatakan, raja Kerajaan
Tulang Bawang bernama Kumala Tungga.
Tak dapat dipastikan dari mana asal raja dan tahun memerintahnya. Diperkirakan, Kumala Tungga
memerintah kerajaan sekitar abad ke 4 dan 5 Masehi. Dalam tuturan ini, sampai sekarang belum ada yang bisa
memastikan nama jelas raja-raja Kerajaan Tulang Bawang, tahun berdiri hingga
pusat pemerintahan kerajaannya. Tapi, ahli sejarah Dr. J.W.
Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang, antara
Menggala dan Pagar Dewa, kurang lebih dalam radius 20 kilometer dari pusat
ibukota kabupaten, Kota Menggala.
Meski belum didapat kepastian letak pusat
pemerintahan Kerajaan Tulang Bawang, berdasarkan riwayat sejarah dari warga
setempat pemerintahannya diperkirakan berpusat di Pedukuhan, di seberang
Kampung Pagar Dewa. Kampung ini letaknya berada di Kecamatan Tulang Bawang
Tengah, yang sekarang tempat itu kampung/desa di Kabupaten Tulang Bawang Barat, pemekaran dari
Kabupaten Tulang Bawang.
Mengenai pusat pemerintahan kerajaan, sekitar
tahun 1960 terjadi peristiwa mistis yang dialami Murod, salah seorang warga
Kampung Pagar Dewa. Kejadian yang dialaminya seakan menjadi sebuah ‘petunjuk’
akan keberadaan kerajaan yang sampai kini letak pusat pemerintahannya belum
juga ditemukan secara pasti.
Waktu itu, Murod tengah mencari rotan di
Pedukuhan. Tiba-tiba ia ‘tersesat’ ke sebuah tempat yang masih asing baginya. Di
tempat tersebut, Murod melihat rumah yang atapnya terbuat dari ijuk. Pekarangannya
terdapat taman. Didalam rumah itu, dilihatnya ada kursi kerajaan terbuat dari
emas, gong serta perlengkapan lainnya. Begitu dia tersadar, apa yang sudah dilihatnya seketika
hilang dari pandangan.
Meningkatnya
kekuasaan Kerajaan Sriwijaya akhir abad ke 7 Masehi, disebut dalam sebuah
inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit Seguntang, di sebelah barat
daya Kota Palembang mengatakan tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah berkuasa,
baik di laut maupun di darat. Dalam tahun tersebut,
berarti kerajaan ini sudah mulai meningkatkan kekuasaannya.
Tiga tahun
berikutnya, dalam tahun
686 negara ini mengirimkan ekspedisinya menaklukkan
daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh karenanya, diperkirakan
sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Bukti dugaan penaklukan Sriwijaya di wilayah
Lampung dengan ditemukannya prasasti di daerah Lampung Selatan. Selanjutnya, daerah ini tidak berperan lagi
di pantai timur Lampung.
Seiring
dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li
P'o Chie (Sriwijaya), nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit
demi sedikit semakin pudar. Dengan bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya yang
disebut-sebut pula sebagai kerajaan maritim dengan wilayahnya yang luas, sulit
sekali mendapatkan secara terperinci mengenai sejarah perkembangan Kerajaan Tulang
Bawang.
Sumber lain
menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu
dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Semasa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat.
Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut menyingkir ke Skala
Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo (Menggala) dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis. Abad ke 7 Masehi, salah satu sumber
menyebut nama Tola P'ohwang/To-Lang Po-Hwang diberi nama lain, yaitu Selampung
yang dikenal dengan nama Lampung.
(Dikutif dari naskah buku Akhmad Sadad, "Kerajaan Tulang Bawang, Rangkaian Sejarah yang Hilang", Bandar Lampung, 2014. Dalam proses penulisan dan penerbitan). Dilarang mengutip selain menyebutkan sumber tulisan ini.
Comments
Post a Comment