Amanat Galunggung

Amanat Galunggung adalah nama yang diberikan untuk sekumpulan naskah yang ditemukan di Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut, salah satu naskah tertua di Nusantara. Naskah ini ditulis pada abad ke-15 pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa dan aksara Sunda Kuna. Naskah ini berisi nasihat mengenai etika dan budi pekerti Sunda, yang disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja Sunda ke-25, PenguasaGalunggung, kepada puteranya Ragasuci (Sang Lumahing Taman).

Di Kabuyutan Ciburuy, hingga kini orang menyimpan naskah-naskah kuno. Salah satu naskah kuno yang ditemukan di kabuyutan itu—sebelum disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta—adalah ”Amanat Galunggung”.

Nama atau judul ”Amanat Galunggung” berasal dari filolog Saleh Danasasmita, yang turut mengkaji naskah tersebut, kemudian turut mengompilasikan hasil kajiannya dalam ”Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung” (1987). Naskah ini menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda.
”Amanat Galunggung” berisi ajaran moral. Dalam naskah ini antara lain disebutkan bahwa kabuyutan harus dipertahankan. Raja yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan di wilayah kekuasaannya lebih hina ketimbang kulit musang yang tercampak di tempat sampah.

Dengan demikian, dalam tata politik dahulu kala, pusat-pusat kegiatan intelektual dan keagamaan rupanya memiliki kedudukan yang sangat penting. Kabuyutan tampaknya merupakan salah satu pilar yang menopang integritas negara, sehingga tempat itu dilindungi oleh raja, bahkan dianggap sakral.

Amanat Galunggung atau disebut Naskah Ciburuy atau Kropok No.632 yang merupakan amanat Prabu Guru Darmasiksa merupakan khasanah Budaya Sunda sebagai kearifan Genus Lokal. Awal kisah di mulai dari Kerajaan Saunggalah I (Wilayah Kuningan sekarang) yang sebenarnya telah eksis sejak awal abad 8M; seperti yang terinformasikan dalam naskah lama Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa dengan nama Saunggalah. Rajanya bernama Resiguru Demunawan kakak kandung Purbasora (Raja di Galuh 716-732M). Ayahnyalah (Rahyang Sempakwaja yaitu Penguasa Galunggung) yang mendudukkannya menjadi raja di Saunggalah I.

Tokoh yang mempunyai gelar Resiguru dalam sejarah Sunda hanya dipunyai oleh tiga tokoh, yaitu Resiguru Manikmaya (Raja di Kendan, 536-568M), Resiguru Demunawan (di Saunggalah I/Kuningan, awal abad 8M) dan Resiguru Niskala Wastu Kancana (Raja di Kawali, 1371-1475M). Resiguru adalah gelar yang sangat terhormat bagi seorang raja yang telah membuat/menurunkan suatu “ajaran” (visi hidup, teh way of live) bagi acuan hidup keturunannya (mungkin yang disebut dalam naskah kuna dengan istilah Sanghyang Linggawesi?).

Bila demikian halnya, maka tidak ayal lagi Resiguru Demunawan, tokoh cikal bakal Kerajaan Saunggalah I pun mempunyai atau membuat suatu ajaran. Keyakinan ini dibuktikan oleh seorang keturunannya yang juga menjadi Raja di Saunggalah I (Kuningan) dan kemudian pindah menjadi raja di Saunggalah II (Mangunreja/Sukapura) yaitu Prabuguru Darmasiksa (1175-1297 M) yang memerintah selama 122 tahun (!).

Prabuguru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I (persisnya sekarang di desa Ciherang, Kec. Kadugede, Kab. Kuningan selama beberapa tahun) yang selanjutnya diserahkan kepada puteranya dari istrinya yang berasal dari Darma Agung, yang bernama Prabu Purana (Premana?).

Kemudian Prabuguru Darmasiksa pindah ke Saunggalah II (sekarang daerah Mangunreja di kaki Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya), yang nantinya kerajaan diserahkan kepada putranya yang bernama Prabu Ragasuci. Adapun Prabuguru Darmasiksa diangkat menjadi Raja di Karajaan Sunda (Pakuan) sampai akhir hayatnya.


Comments